Tahun ajaran baru telah dimulai. Para siswa mulai masuk sekolah. Orang tua yang kemarin wira-wiri sibuk mencarikan sekolah, sekarang bisa sedikit bernapas lega. Namun, pencarian sekolah kemarin masih meninggalkan cerita.
“Mlebu wingi entek
piro, Mbak?” (Masukin kemarin habis berapa, Mbak?)
“Telu setengah” (3.5 juta)
“Yo murah kui. Wingi
pak X entek pitu.” (Murah itu, kemarin pak X habis 7 juta)
Percakapan di atas
mengilustrasikan ibu-ibu yang baru saja memasukkan anaknya ke sekolah menengah
pertama lewat “jalur belakang” dan ternyata masih ada yang lebih mahal darinya.
Ibu ini patut bersyukur sebab tidak semua orang tua dapat harga yang murah
untuk mendapatkan satu kursi di sekolah negeri.
Tujuan Awal Sistem
Zonasi
Sistem zonasi pertama
kali digunakan pada tahun 2017 yang kemudian disempurnakan dalam Permendikbud
Nomor 14 Tahun 2018 tentang PPDB pada TK, SD, SMP, SMA, SMK, dan yang
sederajat. Sekalipun sering dikambinghitamkan, sebenarnya sistem zonasi memiliki
manfaat dan tujuan yang mulia. Menurut publikasi data dari Pusat Data dan
Statistik Pendidikan dan Kebudayaan Setjen Kemendikbud (2018), sistem zonasi
disiapkan untuk pemerataan layanan pendidikan yang bermutu bagi masyarakat di
suatu kawasan tertentu. Dalam sistem zonasi, sekolah negeri wajib menerima
calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah
minimal 90% dari total keseluruhan murid yang diterima. Sisanya diperuntukkan
untuk siswa berprestasi yang rumahnya jauh dari sekolah dan alasan khusus,
seperti perpindahan domisili dan–mungkin–beli kursi.
Adanya sistem zonasi
ini diharapkan dapat menghapus istilah sekolah favorit atau unggulan yang
menyebabkan kesenjangan antar sekolah. Selain itu, sistem zonasi juga bertujuan
menjamin kualitas pelayanan pendidikan dari hulu hingga hilir, yaitu mulai dari
penerimaan peserta didik baru yang objektif, transparan, dan berkeadilan,
menjamin ketersediaan dan kesiapan satuan pendidikan, akses dan mutu
pendidikan, terpenuhinya tenaga pendidik yang kompeten dan sarana-prasarana
yang memadai hingga menjamin mutu lulusan.
Rumusan yang
sedemikian apik disusun hanya bisa tercapai jika ada integrasi dan kesiapan
dari pihak-pihak terkait, ya pemerintahnya, ya sekolahnya, gurunya, siswa, dan
orang tuanya. Sistem dibuat untuk mengurai masalah dan memberi solusi. Tapi,
bagaimana jika dari sistem itu justru muncul masalah baru?
Realita di Lapangan
Awal saya membaca publikasi data yang dikeluarkan oleh Kemendikbud, kepala saya mengangguk-angguk pertanda setuju. Bagaimana tidak cita-cita semulia dan sevisioner ini tidak diwujudkan? Namun, melihat ke lapangan justru membuat saya geleng-geleng kepala. Keputusan sistem zonasi yang langsung ketok palu membuat chaos di masyarakat, terlebih bagi orang tua. Tak sedikit yang sambat anaknya tidak bisa masuk ke SMP Negeri karena alamat rumahnya nanggung. Tengah-tengah. Ke SMPN A tidak diterima karena tidak masuk zonasi, beralih ke SMPN B pun jarak tak sampai. Daripada anaknya tidak sekolah, dimasukkanlah ke sekolah swasta. Sekolah swasta di sini punya dua arti, sekolah swasta dengan biaya yang sundul langit dan sekolah swasta yang jangankan biaya yang tinggi, dapat murid pun sudah bersyukur. Bagi orang tua yang mampu, jalur belakang pun ditempuh atau biasa disebut dengan beli kursi.
Beli kursi hanya satu
dari sekian permasalahan pendidikan di negeri ini. Faktanya, masih banyak
permasalahan yang dari dulu hingga kini belum selesai. Menurut data dari
Indonesia Corruption Watch (2018), sektor pendidikan merupakan sektor paling
rawan dikorupsi ketiga setelah sektor Anggaran Desa dan Pemerintahan. Tahun
2019, turun satu peringkat menjadi nomor 4 dan tahun 2020 turun menjadi
peringkat 8. Sebuah prestasi? Tentu saja bukan. Sektor pendidikan masih masuk
10 besar sektor terkorup di Indonesia.
Maka jangankan
menerapkan sistem zonasi yang rapi, jika praktik jual-beli kursi selevel ikan
teri seperti ini masih terjadi. Jangankan mendapatkan pendidikan yang merata
dan berkualitas, jika anggaran pendidikan yang diberikan hanya tinggal ampas.
Sistem zonasi juga
berdampak negatif pada siswa. Sebuah riset yang dipublikasikan dalam jurnal Brilliant:
Jurnal Riset dan Konseptual pada 2020 menunjukkan rendahnya daya juang
siswa karena mereka merasa tidak perlu payah belajar agar dapat nilai bagus
untuk bisa masuk ke sekolah yang dituju, selama alamat rumah masuk dalam radius
zonasi, ya auto masuk.
Perlu Evaluasi
Setiap warga negara
berhak mendapat pendidikan, begitu bunyi UUD 1945 pasal 31 ayat 1. Tidak hanya
berhak tapi juga tidak terbebani. Mengapa? karena Pemerintah harus hadir bahkan
wajib membiayainya, ayat 2 berbunyi seperti itu, kan? Dan terkait dengan
sistem, dalam ayat 3 dijelaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Saya
ulangi, guna meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia. Jika sistem
zonasi ini justru menimbulkan benih-benih korupsi seperti beli kursi, berarti
ada yang harus dibenahi.
Niat baik Pemerintah
memberlakukan sistem zonasi kami husnudzoni adalah bentuk upaya mewujudkan
cita-cita “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Namun, niat baik saja tidak cukup.
Harus ada usaha. Usaha saja tidak cukup, perlu pembuktian. Lakukan kajian, cek
kembali kondisi di lapangan, tidak anti pada kritik dan saran, serta melakukan
evaluasi yang berkelanjutan. (mz)
1 Komentar
subhaaanalloh
BalasHapus